Cerpen

                                                 KORBAN TEKHNOLOGI
  Ada dua orang kakak beradik...Sebut saja si dadang dan si ujang,keadaan hidup mereka dan kedua orang tuanya boleh di bilang tidak terlalu sulit, hanya saja tempat tinggal mereka jauh dari keramain dan jangkauan tekhnologi masa kini. Pada suatu hari orang tua mereka menjual sebidang sawah dengan alasan terlalu luas sawahnya untuk digarap.Dan dari hasil penjualan tersebut Dadang dan Ujang mendapat jatah dari orang tuanya....Dengan uang tersebut dadang mengajak adiknya untuk jalan-jalan kekota.Alhasil,mereka masing-masing membeli Hp terbaru saat ini,mungkin karena mereka tidak mau di bilang ketinggalan jaman,pamerlah mereka kepada teman-temannya di kampung.
  Pada suatu hari Dadang terheran-heran melihat adiknya duduk dekat pagar di depan rumahnya sambil memegang Hp...dengan rasa ingin tau Dadangpun bertanya: "lo ngapain duduk di situ jang....?tutur dadang ingin tau,   "lagi ngisi pulsa gw,dari tadi belom bisa-bisa....kenapa ya...?jawab Ujang dan balik bertanya.Lalu dadang berkata : "ngisi pulsa ngapain di situ...!!!!" sambil sedikit membentak,Ujang menjawab :"mo dimana lagi,operator nyuruh tekan pagar,ya gw tekan,,,,tapi ga bisa-bisa ampe bengkak jempol gw ini...!!!"tutur Ujang sambil nunjukin jempolnya yang memang agak sedikit bengkak. "dasar bego luh,,yang dimaksud pager yang ini ukan pagar itu....!!!!" bentak Dadang sambil menunjukan tanda pagar di Hpnya.lalu Ujangpun melongo sambil mengangguk....lalu Ujang bertanya kembali kepada kakaknya setelah melihat muka kakaknya agak sedikit kebingungan...."lah lo kenapa,koq kaya yang kebingungan....?tanya Ujang...lalu kakaknya menjawab..."gimana gak bingung,klo pager oke gw tau,tapi ini bintang....masa kita kudu tekan bintang...gimana nekannya......"jawab Dadang,



Ada Cerita di Balik Topeng
Minggu, 18 September 2011 | 17:40 WIB
Besar Kecil Normal
TEMPO Interaktif, Jakarta -Namanya Aerli. Dia adalah cucu Mimi Rasinah, maestro tari topeng dari Cirebon. Sejak kecil, dia belajar tari topeng Cirebon gaya Indramayu dari sang nenek. Tari Kijang adalah tarian favoritnya. Pada usia lima tahun, bencana itu terjadi. Ketika dia sedang asyik menari, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Yang dia tahu, api kemudian membakar tubuh mungilnya. Selama tiga bulan, gadis itu terbaring koma di rumah sakit.

Tapi Aerli tak lantas berhenti menari. Meski kulit tubuhnya tak lagi mulus. Meskipun berbulan-bulan dia harus bersusah payah melatih kembali tubuhnya yang kaku. “Sekali menari, akan terus menari,” kata generasi kesebelas penari topeng Cirebon itu, lantang. Di panggung Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Jumat dan Sabtu lalu, dia memperlihatkan perjuangannya untuk kembali menjadi penari setelah tersadar dari koma lewat tari Panji Sakit.

Kisah Aerli tertuang dalam pertunjukan tari berjudul Di Belakang. Sang penggagas sekaligus koreografer, Martinus Miroto, tak cuma menyuguhkan tarian, tapi juga dialog. “Konsepnya mengambil esensi wayang wong,” kata Miroto, yang menekuni seni tari tradisi dan kontemporer. Menurut Miroto, akar pertunjukan tari di Jawa sesungguhnya tidak hanya sekedar menampilkan gerak tari semata, tapi juga kaya dengan dialog .

Sesuai dengan judulnya, Di Belakang adalah karya tari yang ingin memperlihatkan apa yang ada di balik topeng. Topeng dalam arti alat atau kedok untuk menutupi. Pertunjukan tari ini tak hanya memperlihatkan kelincahan, keanggunan, dan gerakan tubuh penari yang gemulai, tapi juga kehidupan para penari di luar panggung. “Ini semacam testimoni dan rekonstruksi,” ujar penari asal Yogyakarta ini.

Melalui tarian ini Miroto hendak menyampaikan sisi lain seorang penari. Tak hanya menyampaikan suka-dukanya bergelut di dunia tari sendirian, dia menggandeng penari topeng Aerli Rasinah dan M. Budi Hartomo untuk ikut berbagi pengalaman. Guna memperkuat adegan, dia juga melibatkan Sri Qadariatin dari Teater Garasi. Selama setahun mereka menyiapkan pementasan ini, dibantu penari dan koreografer asal Belanda, Gerard Mosterd, untuk memperkuat dramaturgi.

Di Belakang disuguhkan di atas panggung sederhana. Hanya ada lima bangunan berbentuk kubus setinggi dua meteran. Para penari juga tampil dengan kostum seadanya: celana pendek, kaus, bahkan bertelanjang dada. Meskipun terilhami oleh tari topeng, hanya pada beberapa adegan saja para penari menggunakan topeng. Tarian ini justru ingin memperlihatkan apa yang ada di balik topeng yang biasa dikenakan para penari itu.

Di Belakang juga tidak hanya menyajikan gerakan-gerakan tari tradisi, seperti tari Panji, Kijang, dan Getak. Diiringi komposisi musik elektronik kontemporer garapan Yennu Ariendra, tarian ini juga kaya akan gerakan-gerakan tari kontemporer, dengan unsur-unsur teater di dalamnya.

Lihatlah adegan ketika Budi Hartomo menyampaikan testimoninya. Miroto mengemasnya dalam satu adegan yang menarik. Bagian kanan panggung disulap menjadi sebuah jamban terbuka. Sambil buang hajat dan mengisap rokok, Budi bercerita soal kegundahannya mempertahankan tari Getak.

Pemuda 21 tahun asal Pamekasan, Madura, itu mengaku lahir dari keluarga penari. Ayah dan dua kakaknya adalah penari Getak. Tapi mereka sudah tidak lagi aktif menari lantaran faktor usia. “Mereka berhenti di usia 35,” kata Budi. Para penari Getak memang biasanya berhenti menari ketika menginjak 35 tahun lantaran secara fisik sudah tak kuat lagi. “Tarian ini sangat menguras energi,” kata Budi, yang pernah pingsan kecapekan setelah menari.

Kini Budi menjadi satu-satunya penari. Dia cemas lantaran tak ada seorang pun yang tertarik meneruskan seni tradisi itu. “Mungkin saya pewaris terakhir,” katanya. Usahanya mencari sang ahli waris diterjemahkan di atas panggung lewat paduan dialog dan koreografi. “Ayo, siapa yang mau belajar, ke sini, gratis,” katanya mengajak penonton. Di atas panggung, Budi menari mengenakan topeng Baladewa--Raja Mandura--sambil terus mengajak orang-orang berlatih. Wajahnya makin diliputi kecemasan karena, hingga musik pengiring berakhir, tak ada satu pun orang yang mau menari bersamanya.

Kisah Budi bukanlah rekaan. Inilah kenyataan yang terjadi sesungguhnya. Tari topeng Getak kian ditinggalkan. Anak-anak muda di kampungnya lebih tertarik main games, handphone, dan sepeda motor ketimbang berlatih tari. Sanggar tari Siswa Budaya, yang didirikan ayahnya pada 1965, sepi lantaran tak punya murid satu pun.

Di Belakang hadir sebagai perayaan atas nilai-nilai kehidupan dan tradisi. Tarian yang bakal dipentaskan di Belanda dan Belgia pada 2 hingga 10 Oktober mendatang itu pada akhirnya memunculkan makna topeng bagi tiap penonton. Juga kekhawatiran akan hilangnya sebuah warisan.

Nunuy Nurhayati